ASKEP REUMATOID ARTITIS (RA)
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang Masalah
Menurut sensus
penduduk pada tahun 1980, di Indonesia terdapat 16,3 juta orang (11%) yang
berusia 50 tahun ke atas. Pada tahun 2000 diperkirakan jumlah penderita
artritis reumatoid meningkat menjadi 9,99% dari seluruh penduduk Indonesia (22.277.700
jiwa) dengan umur harapan hidup 65-70 tahun (Sensus, 2008).
Secara statistik
tercatat lebih dari 10 % dari populasi penduduk dunia terkena rheumatoid. Di
Indonesia, kasus rheumatoid artritis pada usia di atas 18 tahun diperkirakan
0,1 sampai 0,3 persen dari jumlah penduduk. Sedangkan pada anak dan remaja di
bawah 18 tahun sekitar 1 banding 100.000 orang, ungkap Presiden Rheumatology
Association of ASEAN di Jakarta (Isbagio, 2006).
Reumatik
dapat mengakibatkan perubahan otot, hingga fungsinya dapat menurun bila otot
pada bagian yang menderita tidak dilatih guna mengaktifkan fungsi otot. Dengan
meningkatnya usia menjadi tua fungsi otot dapat dilatih dengan baik. Namun usia
lanjut tidak selalu mengalami atau menderita reumatik. Bagaimana timbulnya
kejadian reumatik ini, sampai sekarang belum sepenuhnya dapat dimengerti.
Reumatik dapat terjadi pada
semua umur dari kanak-kanak sampai usia lanjut, atau sebagai kelanjutan sebelum
usia lanjut. Dan gangguan reumatik akan meningkat
dengan meningkatnya umur. (Felson, 1993, Soenarto dan Wardoyo, 1994).
Pengetahuan tentang asuhan keperawatan muskuloskeleta makin
dibutuhkan mahasiswa ataupun perawat selaku pemberi pelayan kesehatan.
Pergeseran tingkat pendidikan pada dunia keperawatan di Indonesia menuju era
profesionalisasi menjadikan asuhan keperawatan pada pola asuhan per sistem.
Perkembangan asuhan keperawatan sistem muskoskeletal sendiri sejak lama tidak
lepas dari bedah ortopedi, suatu disiplin ilmu dari bagian medis yang di
Indonesia sekarang ini masih belum dikenal luas oleh masyarakat.
Hal ini disebabkan oleh keadaan masih adanya peranan yang
cukup besar dari ahli urut tulang (khususnya di daerah), yaitu lebih dari 25%
klien berobat ke ahli urut tulang/dukun patah tanpa memnadang derajat sosial
dan pendidikan dan umumnya datang ke rumah sakit setelah timbul penyulit atau
penyakit sudah dalam stadium lanjut. Untuk mengantisipasi masalah tersebut,
salah satu fungsi dari peranan perawat adalah mensosialisasikan pada masyarakat
umum guna mencegah/menghindari hal-hal yang sebenarnya tidak perlu terjadi.
Berdasarkan hal tersebut maka kelompok kami akan membahas
tentang penanganan keperawatan dan medikasinya. Dalam makalah ini pembahasan
meliputi anatomi fisiologi sistem musculoskeletal, definisi, etiologi,
patofisiologi, manifestasi klinis, komplikasi, penatalaksanaan medis,
penatalaksanaan penunjang medis, manajemen diet, asuhan keperawatan pada
rematoid arthritis, pelayanan keperawatan kelanjutan pada rematoid arthritis.
1.2 Tujuan
Penulisan
Tujuan dari
penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
a. Tujuan
Umum
Mahasiswa mampu memahami konsep
asuhan keperawatan dengan Rhematoid Arthritis
b. Tujuan
Khusus
1) Memaparkan konsep penyakit Rhematoid Arthritis yang
meliputi anatomi fisiologi sistem muskuloskeletal, definisi, etiologi dan
faktor risiko, patogenesis, manifestasi klinik, komplikasi yang terjadi,
penatalaksanaan medis, keperawatan dan manajemen diet serta asuhan keperawatan
dengan Rhematoid Arthritis
2) Memahami
asuhan keperawatan dengan Rhematoid Arthritis dengan metodologi asuhan
keperawatan yang benar.
BAB
II
TINJAUAN
TEORI
2.1 Tinjauan Teoritis dengan Rhematoid Arthritis
A. Anatomi Fisiologi Sistem
Muskuloskeletal
Tulang terdiri dari sel-sel hidup (living cells) dan material intraseluler
tidak hidup. Sel-sel hidup yaitu osteoblast yang merupakan sel pembentuk
tulang, osteoclast yang merupakan sel penghancur tulang dengan menyerap kembali
sel tulang yang rusak maupun yang sudah tua dan osteosit yaitu osteoblas yang
berada pada matriks. Material intraseluler tidak hidup atau matriks tulang
terdiri dari mukopolisakarida dan kolagen. Tulang berasal dari kartilago hialin
embrionik yang prosesnya dikenal sebagai osteogenesis atau osifikasi
endokondrial. Proses ini selesai melalui sintesis mukopolisakarida dan kolagen
oleh osteoblas (sel pembentuk tulang). Garam kalsium disimpan di matriks
tulang, memberikan kekuatan pada tulang.
Tulang terdiri atas empat type, tergantung pada ukurannya :
1)
Tulang panjang
(femur, humerus).
2) Tulang pendek (karpal)
3) Tulang pipih (tengkorak)
4) Tulang tidak teratur (vertebrae).
Setiap tulang tersusun atas tulang kankelous (spongy) dan compact (dense).
Pada tulang panjang bagian kankelous ditemukan pada ujung tulang dan compact
pada bagian tengah. Pada tulang pendek dan tidak teratur mempunyai suatu inti
bagian dalam pada kankelous dan suatu lapisan luar pada compact. Tulang datar
mempunyai dua lapisan luar tulang compact dengan satu lapisan bagian dalam pada
kankelous.
Tulang kankelous dan tulang compact dibedakan dari yang lainnya dengan
adanya susunan lamelae yaitu lapisan silindris kosentrik yang terletak di
antaranya. Pada pusat susunan cincin kosentrik ini ada suatu
saluran yang disebut saluran haversian. Saluran ini mengandung suatu pembuluh darah kapiler. Beberapa saluran juga
mengandung arteriola, venula dan limfatik. Ruang kecil antara cincing lamelae
disebut lakuna yang diisi oleh sel tulang (osteosit). Lacuna dihubungkan dengan
saluran haversian dan selanjutnya zat gizi disuplay oleh saluran yang sangat
kecil yang disebut kanalikuli. Lamellae dengan saluran haversian, lacuna dan
kanalikuli disebut unit haversian. Unit haversian merapat secara bersamaan pada
tulang compact. Pada tulang kankelous banyak ruang yang terbuka yang kokoh
diantara penghubung tulang yang disebut trabekulae.
Tulang mempunyai kemampuan untuk remodel atau membentuk kembali ukurannya
sendiri dengan berespon pada terganggunya fungsi mekaniknya. Respon ini sesuai
dengan hukum Wolff (Julius Wolff, ahli anatomi Jerman) yaitu setiap perubahan
pada bentuk dan fungsi tulang atau hanya fungsinya diikuti dengan perubahan yang
nyata pada konfigurasi eksternalnya sesuai dengan hukum matematika (Phips, et
al, 1991). Atau hukum Wolff yaitu tulang akan mengembangkan struktur yang
paling cocok untuk menahan gaya yang bekerja padanya (Dorland, 1997). Trabekula
pada tulang berkembang dan membangun dirinya sendiri dan akan terjadi
osteogenesis sesuai stres yang ada. Jika tulang tidak ditekan makan terjadi
resorbsi tulang. Dengan demikian individu yang memulai program berlari dapat
memperoleh hipertropi (meningkatnya massa tulang) pada tulang ekstremitas
bawah, mengingat individu yang menetap akan terjadi atropi (kehilangan
substansi tulang).
Menurut Phipps, et al (1991), tulang mempunyai tiga fungsi mekanik yaitu :
1) mendukung jaringan tubuh,
2)
melindungi
organ tubuh seperti tulang tengkorak melindungi otak dan pergerakan dimana
dipengaruhi oleh kontraksi otot-otot pada tulang memungkinkan untuk bergerak.
3)
ulang juga
mempunyai dua fungsi tambahan yaitu menyimpan kalsium dan sumsum tulangnya
menghasilkan sel darah merah
(hematopoiesis).
B. Definisi
Rhematoid arthritis
(RA) adalah penyakit autoimun yang ditandai oleh inflamsi sistemik kronik dan
progresif , dimana sendi merupakan target utama (Perhimpunan Dokter Spesialis
Penyakit Dalam Indonesisa, 2010: 2495).
Arthritis rheumatoid (AR)
adalah suatu penyakit inflamasi kronis yang menyebabkan degenerasi jaringan
penyambung. Jaringan penyambung yang biasanya mengalami kerusakan pertama kali
adalah membran sinovial, yang melapisi sendi (Corwin Elizabeth, 2009: 347).
Arthritis rematoid
merupakan penyakit sistemik dengan gejala ekstra-artikuler yang multipel. Gejala
yang paling sering ditemukan adalah demam, penurunan berat badan, keadaan mudah
lelah, anemia, pembesaran kelenjar limfe dan fenomena Raynaud (vasospasme yang
ditimbulkan oleh cuaca dingin dan stres sehingga sehingga jari-jari menjadi
pucat atau sianosis) (Bruner dan
Suddarth, 2001: 1801).
Jadi dapat disimpulkan
bahwa rheumatoid arthritis adalah suatu penyakit autoimun yang ditandai denga
inflamasi yang bersifat kronis dimana membrane sinovial yang biasanya pertama
kali diserang dan sendi sebagai target utmanya.
C. Etiologi dan Faktor Risiko
1) Etiologi
Penyebab dari RA
tidak diketahui secara pasti, namun berikut ini diduga yang menyebabkan
penyakit RA:
a) faktor
genetik
faktor genetik berperan penting
terhadap kejadian RA, dengan angka kepekaan dan ekspresi penyakit sebesar 60%.
b) hormon
sex
prevalensi AR lebih besar oada
perempuan dibandingkan dengan laki-laki, sehingga diduga hormon sex berperan
dalam perkembangan penyakit ini. Pada observasi didapatkan bahwa terjadi
perbaikan gejala AR selama kehamilan.
Perbaikan ini diduga karena : (1) adanya
antibodi dalam sirkulasi maternal yang menyerang HLA-DR sehingga terjadi
hambatan fungsi epitop HLA-DR yang mengakibatkan perbaikan penyakit. (2) Adanya
perubahan profil hormon. Placental corticotrophinreleasing hormone
secara langsung menstimulasi sekresi dehidroepiandrosteron (DHEA), yang
merupakan androgen utama pada perempuan yang dikeluarkan oleh sel-sel adrenal
fetus. Androgen bersifat imunosupresi terhadap respon imun selular dan humoral.
DHEA merupakan substrat penting dalam sintesis estrogen plasenta. Estrogen dan
progesteron menstimulasi respon imun humoral (Th2) dan menghambat respon imun selular
(Th1). Oleh karena pada AR respon Th1 lebih dominan sehingga estrogen dan
progesteron mempunyai efek yang berlawanan terhadap perkembangan AR. Pemberian
kontrasepsi oral dilaporkan mencegah perkembangan AR atau berhubungan dengan
penurunan insiden AR yang lebih berat.
c) faktor
infeksi
beberapa bakteri dan virus diduga
sebagai agen penyebab penyakit AR. Organisme ini diduga menginfeksi sel induk
semang (host) dan merubah reaktivitas atau respon sel T sehingga mencetuskan
timbulnya penyakit. Walaupun belum ditemukan agen infeksi yang secara nyata
terbukti sebagai penyebab penyakit .
Agen
infeksi yang diduga sebagai penyebab arthritis rematoid
|
|
Agen
Infeksi
|
Mekanisme
Patogenik
|
Mycoplasma
|
Infeksi sinovial langsung, superantigen
|
Parpovirus B19
|
Infeksi sinovial langsung
|
Retrovirus
|
Infeksi sinovial langsung
|
Enteric bacteria
|
Kemiripan molekul
|
Mycobacteria
|
Kemiripan molekul
|
Epstein-Barr virus
|
Kemiripan molekul
|
Bacterial cell walls
|
Aktivasi makrofag
|
d) protein
heat shock (HSP)
HSP adalah keluarga protein yang
diproduksi oleh sel pada semua spesies sebagai respon terhadap stres. Protein
ini mengandung untaian (sequence) asam amino homolog. HSP tertentu manusia dan
HSP mikrobakterium tuberculosis mempunyai 65 % untaian yang homolog.
Hiposintesisnya adalah antibodi dan sel T mengenali epitop HSP pada agen
infeksi dan sel host. Hal ini memfasilitasi reaksi silang limfosit dengan sel
host sehingga mencetuskan reaksi imunologis. Mekanisme ini dikenal sebagai
kemiripan molekul (molecular mimicry).
(Perhimpunan
Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesisa, 2010: 2495-2496).
3) Faktor
Risiko
Faktor risiko yang berhunguan
dengan peningkatan terjadinya AR antara lain jenis kelamin perempuan, ada
riwayat keluarga yang menderita AR, umur lebih tua, paparan salisilat dan
merokok. Komsumsi kopi lebih dari tiga cangkir sehari, khususnya kopi decaffeinated
mungkin juga berisiko.
Makanan tinggi vitamin D, konsumsi
teh dan penggunaan kontrasepsi oral berhubungan dengan penurunan risiko. Tiga
dari empat perempuan dengan AR mengalami perbaikan gejala yang bermakna selama
kehamilan dan biasanya akan kambuh kembali setelah melahirkan (Perhimpunan
Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesisa, 2010: 2496).
D. Patogenesis
Kerusakan sendi pada AR
dimulai dari proliferasi makrofag dan fibroblast sinovial setelah adanya faktor
pencetus, berupa autoimun atau infeksi. Limfosit menginfiltrasi daerah
perivaskuler dan terjadi proliferasi sel-sel endotel, yang selanjutnya terjadi
neovaskularisasi.
Pembuluh darah pada
sendi yang terlibat mengalami oklusi oleh bekuan-bekuan kecil atau sel-sel
inflamasi. Terjadi pertumbuhan yang ireguler pada jaringan sinovial yang mengalami inflamasi sehingga membentuk
jaringan pannus. Pannus menginvasi dan merusak rawan sendi dan tulang. Berbagai
macam sitokin, interleukin, priteinasi dan faktor pertumbuhan dilepaskan,
sehingga mengakibatkan distruksi sendi dan komplikasi sistemik (Perhimpunan
Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesisa, 2010: 2496).
Akibatnya adalah
menghilangnya permukaan sendi yang akan mengganggu gerak sendi. Otot akan turut
terkena karena serabut otot akan mengalami perubahan degeneratif dengan
menghilangnya elastisitas otot dan kekuatan kontraksi otot (Bruner dan
Syddarth, 2001: 1801).
E. Manifestasi Klinis
1) Awitan
Kurang lebih 2/3 penderita RA,
awitan terjadi secara perlahan, arthritis simetris terjadi dalam beberapa
minggu sampai beberapa bulan dari perjalanan penyakit. Kurang lebih 15 % dari
penderita mengalami gejala awal yang lebih cepat yaitu antara beberapa hari
sampai beberapa minggu. Sebanyak 10-15 % penderita mempunyai awitan fulminant
berupa arthritis poliartikular, sehingga diagnosis RA lebih mudah ditegakkan. Pada
8-15 % penderita, gejala muncul beberapa hari setelah kejadian tertentu
(infeksi). Arthritis sering kali diikuti oleh kekakuan sendi pada pagi hari
yang berlangsung selama satu jam atau lebih. Beberpa penderita juga mempunyai gejala
konstitusional berupa kelemahan, kelelahan, anoreksia dan demam ringan.
2) Manifestasi artikular
Penderita RA pada umumnya datang
denga keluhan nyeri dan kaku pada banyak sendi, walaupun ada 1/3 penderita
mengalami gejala awal pada satu atau beberapa sendi saja. Walaupun tanda
kardinal inflamasi (nyeri, bengkak, kemerahan dan teraba hangat) mungkin
ditemukan pada awal penyakit atau selama selama kekambuhan (flare),
namun kemerahan dan perabaan hangat mungkin tidak dijumpai pada RA yang kronik.
Penyebab arthritis pada RA adalah
sinovitis, yaitu adanya inflamasi pada membran sinovial yang membungkus sendi.
Pada umumnya sendi yang terkena adalah persendian tangan, kaki dan vertebra
servikal, tetapi persendian besar seperti bahu dan lutut juga bisa terkena.
Sendi yang terlibat pada umumnya
simetris, meskipun pada presentasi awal tidak simetris. Sinovitis akan
menyebabkan erosi permukaan sendi sehingga terjadi deformitas dan kehilangan
fungsi. Ankilosis tulang (destruksi sendi disertai kolaps dan perumbuhan tulang
yang berlebihan) bisa terjadi pada beberapa sendi khususnya pada pergelangan
tangan dan kaki. Sendi pergelangan tangan hampir selalu terlibat, demikian juga
sendi interfalang proksimal dan metakarpofalangeal. Sendi interfalang distal
dan sakroiliaka tidak pernah terlibat.
SENDI
YANG TERLIBAT PADA RHEUMATOID ARTHRRITIS
|
|
SENDI
YANG TERLIBAT
|
FREKUENSI
KETERLIBATAN (%)
|
Metacarpophalangeal (MCP)
|
85
|
Pergelangan tangan
|
80
|
Proximal interphalangeal (PIP)
|
75
|
Lutut
|
75
|
Metatarsophalangeal (MTP)
|
75
|
Pergelangan kaki (tibiotalar & subtalar)
|
75
|
Bahu
|
60
|
Midfoot (tarsus)
|
60
|
Panggul (hip)
|
50
|
Siku
|
50
|
Acromioclavicular
|
50
|
Vertebra servikal
|
40
|
Temporomandibular
|
30
|
sternoclavicular
|
30
|
3) Manifestasi ekstraartikular
Walaupun arthritis merupakan
manifestasi klinis utama, tetapi RA merupakan penyakit sistemik sehingga banyak
penderita juga mempunyai manifestasi ekstraartikular. Menifestasi
ekstraartikular pada umumnya didapatkan pada penderita yang mempunyai titer
faktor rheumatoid (RF) serum tinggi. Nodul rheumatoid merupakan manifestasi
kulit yang paling sering dijumpai, tetapi biasanya tidak memerlukan intervensi
khusus. Nodul rheumatoid umumnya ditemukan didaerah ulna, olekranon, jari
tangan, tendon Achilles atau bursa olekranon. Nodul rheumatoid hanya ditemukan
pada penderita RA dengan RF positif (sering titernya tinggi) dan mungkin
dikelirukan dengan tofus gout, kista ganglion, tendon xanthoma atau nodul yang
berhubungan dengan demam rheumatoid, lepra, MCTD, atau multicentric
reticulohistiocytosis. Manifestasi paru juga bisa didapatkan, tetapi
beberapa perubahan patologik hanya ditemukan pada saat otopsi. Beberapa
manifestasi ekstaartikuler seperti vaskulitis dan Felty syndrome jarang
dijumpai.
MANIFESTASI
EKSTRAARTIKULER DARI RA
|
|
Sistem
Organ
|
Manifestasi
|
Konstitusional
|
Demam, anorexia, kelelahan, kelemahan,
limfadenopati
|
Kulit
|
Nodul rheumatoid, accelerated rheumatoid
nodulosis, rheumatoid vasculitis
|
Mata
|
Keratoconjuctivitis sisca, scleritis,
episcleritis, scleromalacia
|
Kardiovaskuler
|
Pericarditis, efusi pericardial, edokarditis,
valvulitis
|
Paru-paru
|
Pleuritis, efusi pleura, interstitial fibrosis,
nodul rheumatoid pada paru, caplan’s syndrome (infiltrat nodular pada paru
dengan pneumoconiosis)
|
Hematologi
|
Anemia penyakit kronik, trombositosis,
eosinofilia, Felty syndrome (RA dengan neutropenia dan splenomegali)
|
Gastrointestinal
|
Xerostomia, amyloidosis, vaskulitis
|
Neurologi
|
Entrapment neuropathy, myositis
|
Ginjal
|
Amyloidosis, renal tubular acidosis, interstitial
nephritis
|
Metabolic
|
Osteoporosis
|
4) Deformitas
Kerusakan struktur artikular dan
periartikular (tendon dan ligamentum) menyebabkan terjadinya deformitas.
BENTUK-BENTUK
DEFORMITAS PADA RA
|
|
Bentuk
Deformitas
|
Keterangan
|
Deformitas leher angsa
|
Hiperekstensi PIP dan fleksi DIP
|
Deformitas
boutonniere
|
Fleksi PIP dan hiperekstensi DIP
|
Deviasi ulna
|
Deviasi MCP dan jari-jari tangan kearah ulna
|
Deformitas kunci
piano
|
Dengan penekan manual akan terjadi pergerakan naik
dan turun dari ulnar styloid, yang disebabkan oleh rusaknya sendi
radioulnar
|
Deformitas Z-thumb
|
Fleksi dan subluksasi sendi MCP 1 dan
hiperekstensi dari sendi interfalang
|
Arthritis mutilans
|
Sendi MCP, PIP, tulang carpal dan kapsul sendi
mengalami kerusakan sehingga terjadi instabilitas sendi dan tangan tampak
mengecil (operetta glass hand)
|
Hallux valgus
|
MTP 1 terdesak kearah medial dan jempol kaki
mengalami deviasi kearah luar yang terjadi secara bilateral
|
(Perhimpunan Dokter Spesialis
Penyakit Dalam Indonesisa, 2010).
F. Komplikasi
Komplikasi yang
sering terjadi pada rheumatoid arthritis:
1) nodulus
rheumatoid ekstrasinovial dapat terbentuk pada terbentuk pada katup jantung
atau pada paru, mata atau limfa. Fungsi pernapasan dan jantung dapat
terganggu,. Glaukoma dapat terjadi apabila nodulus yang menyambut aliran keluar
cairan okular terbentuk pada mata.
2) Vaskulitis
(inflamasi sintem vaskular) dapat menyebabkan thrombosis dan infark
3) Penurunan
kemampuan untuk melakukan aktivitas hidup sehari-hari, depresi, dan stres
keluarga dapat menyertai eksaserbasi penyakit (Corwin Elizabeth, 2009: 348).
2.2 Manajemen Klien dengan Rhematoid Arthritis
A. Penatalaksanaan Medis
Penanganan medik
dimulai dengan pemberian salisilat atau NSAID dalam dosis terapeutik. Kalau
diberikan dalam dosis terapeutik yang penuh, obat-obat ini akan memberikan efek
antiinflamasi maupun analgetik.
Kecenderungan yang
terdapat dalam penatalaksanaan arthritis rematoid menuju pada pendekatan
farmakologi yang lebih agresif pada stadium penyakit yang lebih dini. Luasnya
kesempatan bagi pengendalian gejala dan perbaikan penatalaksanaan peyakit
terdapat dalam dua tahun pertama awitan penyakit tersebut. Apabila inflamasi
tidak dapat dikendalikan secara total dengan obat-obat anti-inflamasi, preparatanti-reumatik
yang kerjanya lambat (antimalaria, preparat emas, penisilamin atau
sulfasalazin) dapat diberikan sejak awal dalam penanganan penyakit rematoid
arthritis. Jika gejalanya tampak agresif (yaitu terjadi erosi tulang yang dini
pada sendi), penggunaan metotreksat perlu dipertimbangkan. Tujuannya adalah
untuk mencegah penghancuran sendi.
Analgesia tambahan
dapat diresepkan pada saat-saat serangan nyeri yang hebat. Penggunaan preparat
analgesik narkotik harus dihindari karena berpotensi untuk mengakibatkan
kebutuhan peredaan nyeri yang berkelanjutan.
Pemberian
kortikosteroid sistemik dilakukan jika pasien menderita inflamasi serta rasa
nyeri yang tidak pernah sembuh, dan atau pasien membutuhkan obat-obat yang
menjembatani pada saai ia menantikan hasil kerja obat anti-rematik yang
kerjanya lambat (yaitu preparat emas).
Bagi rematoid arthritis
yang lanjut dan tidak pernah sembuh, obat-obat imunosupresi diresepkan
mengingat kemampuannya untuk mempengaruhi produksi antibody pada tingkat
seluler. Obat-obat ini mencakup preparat metotreksat dosis tinggi,
siklofosfamid dan azatioprin. Namun obat-obat ini sangat toksik dan dapat
menimbulkan depresi sumsum tulang tulang, anemia, gangguan gastrointestinal
serta ruam (Bruner dan Suddarth, 2001: 1802).
B. Penatalaksanaan Keperawatan
Penunjang Medis
Penatalaksanaan
keperawatan yang dapat membantu penatalaksanaan medis adalah sebagai berikut:
1) sendi
yang mengalami inflamasi diistirahatkan selama eksaserbasi
2) periode
istirahat setiap hari
3) kompres
panas dan dingin bergantian (Corwin Elizabeth, 2009: 348).
4) Teknik-teknik
penatalaksanaan nyeri nonfarmakologis harus diajarkan (yaitu teknik relaksasi,
distrakssi).
Untuk rematoid
arthritits yang dini, terapi dimulai dengan pendidikan pasien, keseimbangan
antara istirahat dan latihan, dan rujukan ke lembaga kemasyarakatan yang dapat
memberikan dukungan (Bruner dan Suddarth, 2001: 1801).
C. Manajemen Diet
Diet pada penderita
Artritis Reumatoid (AR) memang perlu dikhususnya terkait dengan
adanya beberapa kondisi khusus pada penderita AR.
Berikut adalah diet
yang disarankan pada penderita rematoid arthritis:
1) Konsumsi
makanan bervariasi sesuai kebutuhan kalori tubuh.
Penderita AR diharapkan untuk
mengkonsumsi makanan bervariasi terdiri dari kombinasi daging ternak, ikan,
banyak buah dan sayuran segar (5 porsi per hari), kacang-kacangan dan sedapat
mungkin menggunakan minyak zaitun. Namun, sungguh penting disertai adanya usaha
untuk menjaga berat badan ideal, sebab adanya kelebihan berat badan dapat
memperberat beban sendi sehingga nyeri dapat bertambah hebat.
2) Konsumsi
makanan kaya akan omega 3
Omega 3 baik bagi kesehatan jantung
dan diketahui membantu mengurangi peradangan dan dapat mengurangi nyeri dan
kekakuan pada sendi. Sumber omega 3 seperti ikan sarden, salmon dan tuna. Makan
ikan ini setidaknya dua porsi (1 porsi =140 gr) ikan setiap minggu.
3) Konsumsi
kaya akan zat besi
Kelelahan yang dirasakan penderita
AR seringkali diperberat dengan keadaan anemia (kurangnya hemoglobin darah
untuk mentransportasikan oksigen ke seluruh tubuh). Anemia pada penderita AR
dapat disebabkan oleh adanya peradangan kronis yang terjadi atau efek samping
dari penggunaan obat anti inflamasi non-steroid (OAINs) jangka panjang seperti
perdarahan internal atau tukak lambung. Untuk mengatasi hal ini, konsumsilah
makanan kaya akan zat besi secara berkala seperti: daging merah, telur,
sayur-sayuran hijau, kacang-kacangan, buncis. Konsumsi vitamin C juga
diperlukan untuk memudahkan penyerapan zat besi. Vitamin C banyak terdapat
dalam sayuran dan buah-buahan.
4) Makan
makanan kaya akan kalsium
Penderita AR memiliki risiko yang
lebih tinggi untuk mengalami osteoporosis, untuk itu penting untuk menkonsumsi
kalsium. Sumber kalsium seperti susu, keju, yogurt dan produk susu lainnya,
sayur-sayuran hijau, almond, ikan seperti sarden dan teri. Sebaiknya dipilih
jenis susu yang memiliki kandungan lemak yang lebih rendah seperti skimmed
milk atau semi skimmed milk, karena jumlah kandungan kalsiumnya
sama saja. Untuk penyerapannya kalsium membutuhkan vitamin D. Vitamin D bisa
didapatkan dari sinar matahari. ikan, telur, margarin dan sereal
terfortifikasi.
5) Suplemen mineral dan multivitamin
Sampai
saat ini, tidak ada bukti ilmiah yang mendukung penggunaan vitamin antioksidan
atau suplemen mineral pada pengobatan gejala AR.
Diet
yang sehat harus mengandung semua jenis nutrien yang dibutuhkan tubuh. Jadi
bila, nafsu makan berkurang, jumlah makanan yang dikonsumsi sedikit, ada baiknya
menambahkan multivitamin atau suplemen mineral.
6) Suplemen
minyak ikan
Penelitian yang ada menunjukkan
bahwa suplemen minyak ikan dosis tinggi dapat mengurangi gejala AR, seperti
durasi kekakuan pagi hari, jumlah sendi yang mengalami pembengkaka dan nyeri
sendi. Suplemen minyak ikan mengandung omega-3, EPA dan DHA. Gejala AR dapat
mereda setelah konsumsi dilakukan sampai tiga bulan. Namun konsumsi minyak ikan
harus dilakukan secara hati-hati karena terdapat interaksi dengan beberapa obat.
7) Kenali
makanan yang membuat serangan bertambah
Beberapa ahli berpendapat alergi
makanan dapat mencetuskan peradangan pada penderita AR. Makanan yang dapat
mencetuskan peradangan dapat berbeda bagi setiap penderita AR. Untuk itu, perlu
diidentifikasi makanan pencetus peradangan dengan melakukan program eksklusi
makanan satu persatu (Sylvie Sakasmita, tanpa tahun).
2.3 Asuhan Keperawatan dengan Rhematoid Arthritis
A. Pengkajian Keperawatan
Penyakit sistem muskuloskeletal
bisa bermanifestasi sebagai nyeri (khususnya pada sendi), deformitas,
pembengkakan, mobilitas berkurang, fungsi menurun (misalnya tak dapat
berjalan), gambaran sistemik seperti ruam atau demam.
1) Riwayat
penyakit dahulu
Adakah riwayat kelainan sendi atau
tulang sebelumya?
Pernahkah pasien menjalani operasi
seperti penggantian sendi?
2) Penyelidikan
fungsional
a) tinggi
badan, berat badan, postur tubuh, dan gaya berjalan memberikan data dasar yang
dapat mengindikasikan adanya kerusakan otot, obesitas atau edema.
b) Aktivitas
dan pola istirahat, dulu dan sekarang, harus dicatat. Seseorang yang tidak
pernah berolahraga atau diikutsertakan dalam aktivitas mungkin memiliki
kesukaran dalam memulai suatu program latihan di usia lanjut, terutama jika
aktivitas tersebut sulit atau menyakitkan.
c) Pengkajian
diet termasuk asupan kalsium dan vitamin D. Obesitas dan malnutrisi dapat
mempengaruhi mobilitas dan kekuatan otot. Obesitas menjadi faktor predisposisi
bagi lansia untuk mengalami ketidakstabilan ligament, terutama pada daerah
punggung bagian bawah dan sendi-sendi lain yang menahan berat tubuh.
d) Kombinasi
mobilitas, kekuatan, dan keseimbangan menentukan kemampuan fungsional klien
tersebut. Pengkajian mobilitas mengikutsertakan beberapa aspek mobilitas dan
kemampuan fungsional.
e) Cedera
pada masa lalu misalnya fraktur tulang pinggul) dapat mengindikasikan adanya
suatu kondisi osteoporosis. Riwayat nyeri sendi dan kekakuan, kelemahan, atau
keletihan sering dihubungkan dengan adanya osteoarthritis dan arthritis
rematoid. Nyeri punggung dan parestesia atau rasa kesemutan pada ekstremitas
bawah mungkin merupakan gejala degenerasi diskus vertebral atau intervertebral
pada daerah lumbal.
Daftar cedera-cedera ringan atau
berat pada sistem musculoskeletal harus termasuk kondisi-kondisi yang
dihungbungkan dengan cedera, evaluasi, diagnostik, metode dan jangka waktu
pengobatan, status cedera saat ini, kebutuhan untuk alat bantu, dan setiap hal
yang mengganggu aktivitas kehidupan sehari-hari.
f) Pertanyaan
spesifik tentang praktik keamanan klien ketika mereka berhubungan dengan
lingkungan pekerjaan, pengaturan tempat tinggal, keamanan dari berbagai bahaya
dan alat bantu untuk menjamin keamanaan dirumah, rekreasi, dan olah raga harus
diminta pada klien untuk mengidentifikasi masalah dan mengarahkan pendidikan
kesehatan klien.
3) Obat-obatan
Tanyakan pada pasien mengenai
analgesic, OAINS, kortikosteroid, imunosupresan lain, penisilamin, dan
klorokuin
4) Riwayat
sosial
B. Pengkajian Fisik
Lihat pasien dan cari
adanya deformitas yang terlihat jelas dan postur abnormal.
1) Cari
pengecilan otot yang terlihat jelas : apakah massa otot masih normal? Lihat
bahu, pantat, tangan, dan otot kuadriseps.
2) Cari
kelainan terkait; misal, nodul rhematoid, tofi gout, psoriases, atau
tanda-tanda penyakit rematologis sistemik.
3) Periksa
sendi untuk mencari adanya pembengkakan, deformitas, efusi, eritema, dan
nilailah kisaran gerak aktif dan pasif pasien.
4) Periksa
tangan
Lakukan inspeksi untuk mencari
deformitas sendi, kelainan kuku, nyeri tekan sendi (termasuk “menekan” lembut
disekitar sendi MCPM), pembengkakan.
Cari pengecilan otot (misalnya
tonjolan tnar atau hipotenar) dan vasikulasi.
5) Periksa
gerak : fleksi, ekstensi, aduksi, dan oposisi ibu jari. Periksa flksi,
ekstensi, aduksi, dan abduksi jari tengah. Kepalkan tangan dan gerakan
mencubit. Periksa fungsi tangan pasien (misalnya menulis dan mengkancingkan
pakai
6) Periksa
perglangan tangan
Lakukan inspksi untuk mencari
deformitas sendi, pembngkakan, dan nyeri tekan. Priksa gerak fleksi, ekstensi,
deviasi ulnaris, dan deviasi radialis.
7) Periksa
siku
Lakukan inspksi untuk mencari deformitas, nodul
rematoid, dan bursa. Periksa gerak fleksi,ekstensi, pronasi, dan supinasi
8) Periksa
bahu dan sendi sternoklavikularis
Lakukan inspksi untuk mencari
deformitas sendi, pmbngkakan, dan nyeri tekn. Periksa gerak abduksi, aduksi,
rotasi internal dan eksternal, serta fleksi dan ekstensi. Anda bisa meminta
pasien untuk “ meletakkan lengan dibelakang kepala”.
9) Periksa
sendi temporamandibularis, leher, dan tulang belakang
Lakukan inspeksi tulang belakang
untuk mencari deformitas, kifosis abnormal, skoliosis, dan lordosis. Lihat
ksejajaran kurva prosesus spinosus, cari adanya “ tangga”, kemudian lakukan
palpasi untuk mencari nyeri tekan dan spasme otot yang berhubungan.
10) Vertebra servikalis
Periksa gerak aktif dan pasif dari
leher. Periksa fleks, ekstensi, fleksi lateral, dan rotasi. Lihat kisaran gerak
pasien dan nyri lokal atau pada ekstremitas atas.
11) Vertebra torakalis
Periksa saat pasien membalikkan
tubuh sambil duduk dengan lengan terlipat. Periksa ekspansi dada : pasien harus
bisa mengembangkan >5 cm
12) Vertebra lumbalis
Periksa kisaran gerak pasien :
minta pasien menyentuh jari kaki dengan lutut tetap lurus. Nilailah ekstensi,
fleksi lateral, dan rotasi.
13) Sendi sakro-iliaka
Lakukan palpasi sendi. “lentingkan”
sendi dengan memberikan tekanan kuat kearah bawah pada sendi saat pasien dalam
posisi telungkup. Saat pasien terlentang, fleksikan sebuah panggul sambil
menahan sebelah lagi tetap ekstensi
14) Tes renggangan saraf
Periksa dengan pasien mengangkat
tungkai lurus-lurus (straight leg raising, SLR) kurang lebih dorsofleksi kaki.
Lakukan tes renggangan formalis: saat pasien dalam posisi telungkup, fleksikan
lutut dan kemudian ekstensikan tungkai pada sendi panggul. Periksa tungkai
untuk mencari pengecilan otot dan fasikulasi.
15) Periksa
panggul
Cari adanya perbedaan panjang
tungkai dan rotasi nabnormal. Minta pasien berdiri dengan sebelah kaki dan
kemudian kaki yang sebelah lagi. Periksa fleksi, ekstensi, abduksi, dan aduksi.
16) Lakukan
tes thomas (fleksi panggul disisi berlawanan bisa mengungkapkan deformitas
fleksi yang terfiksil pada panggul disatu sisi).
17) Periksa
lutut
Adanya deformitas atau efusi ?
lakukan ketukan patella.
Periksa stabilitas sendi pada arah
anterior-posterior (ligamentum krusiatum)
Tes Lachmann (pasien berbaring
terlentang dengan kaki flksi 300, paha ditahan dengan satu tangan,
sementara tangan yang lain menarik tibia ke depan yang meningkat ).
Tes tarikan anterior (pasien
berbaring terlentang dan kaki ditahan 900, dan gerak tibia kedepan
dinilai)
Tes tarikan posterior (periksa
pasien dalam keadaan terlentang, dengan kaki fleksi 900, dan periksa
tibia untuk mencari subluksasi posterior dan koreksinya dngan gerak tibia ke
anterior).
Adakah nyeri tekan pada sendi
(menunjukkan adanya cidera pada meniskus)
Lakukan tes McMurray (bunyi “pop”
dan gejala sepanjang garis sendi saat lutut dalam posisi ekstensi dan rotasi
internal menunjukkan adanya cidera dan miniskus).
Periksa gerak fleksi dan ekstensi.
18) Periksa
pergelangan kaki
Lakukan inspksi untuk mencari deformitas.
Periksa plantar-fleksi, dorsofleksi, eversi, dan inversi.
19) Periksa
kaki
Lakukan inspeksi untuk mencari
deformitas; misal, pes cavus, hallux valgus, atau kalositas.periksa dorsofleksi
ibu jari kaki.
Lakukan inspeksi cara berjalan
Lihat mantap atau tidaknya,
kecepatan, panjang langkah, ayunan lengan, kepincangan, penggunaan salah satu
kaki lebih dominan dibanding yang lain, dan kemampuan untuk berbelok. Lakukan
tes tumit-jari kaki. Adakah tanda-tanda spastisitas, kaki menyeret (foot drop),
parkinsonisme, apraksia (gangguan gerak kompleks walaupun fungsi motorik dan
sensorik normal), ataksia (cara berjalan yang canggung dan luas), dan
sebagainya. (Jonathan Gleadle, 2005 :40-41)
C. Pemeriksaan Diagnostik
1) Faktor
reumatoid : positif pada 80%-95% kasus
2) Fiksasi
lateks : positif pada 75% dari kasus-kasus khas
3) Reaksi-reaksi aglutinasi : positif pada lebih dari 50%
kasus-kasus khas
4) LED
: umumnya meningkat pesat (80-100mm/h). Mungkin kmbali normal sewaktu
gejala-gejala meningkat.
5) Protein
C-reaktif : positif selama masa eksaserbasi
6) SDP
: meningkat pada waktu timbul proses inflamasi
7) JDL
: umumnya menunjukkan anemia sedang
8) Ig
(IgM dan IgG) : peningkatan besar menunjukkan proses autoimun sebagai penyebab
AR
9) Sinar
X dari sendi yang sakit : menunjukkan pembengkakan pada jaringan lunak, erosi
sendi, dan osteoporosis dari tulang yang berdekatan (perubahan awal) berkembang
menjadi formasi kista tulang, memperkecil jarak sendi dan subluksasio.
Perubahan osteoartristik yang terjadi secara bersamaan
10) Scan
radionuklida : identifikasi peradangan sinovium.
11) Atroskopi
langsung : visualisasi dari area yang menunjukkan iregularitas/degenerasi
tulang pada sendi.
12) Aspirasi
cairan sinovial : mumkin mnunjukkan volume yang lebih besar dari normal;
buram;berkabut; munculnya warna kuning; (respon inflamasi, perdarahan,
produk-produk pembuangan degeneratif); elevasi SDP dan laukosit, penurunan
viskositas dan komplemen (C3 dan C4)
13) Biopsi
membran sinoval : menunjukkan perubahan inflamasi dan berkembang panas
(Marilynn E. Doenges, 1999 : 860-861).
D. Masalah Keperawatan
E. Keperawatan Mandiri
F. Keperawatan Kolaboratif
G. Diagnosa Keperawatan
H. Rencana Keperawatan
I. Evaluasi Proses Asuhan
Keperawatan
2.4 Pelayanan Keperawatan Lanjutan
A. Rencana Keperawatan Lanjutan
B. Rehabilitasi, Perawatan dan
Tindak Lanjut di Rumah
C. Pendidikan Kesehatan Klien dan
Keluarga
Jelaskan sifat artritis
reumatoid. Pastikan pasien dan keluarganya memahami bahwa artritis reumatoid
merupakan penyakit kronis yang dapat membutuhkan perubahan besar pada gaya
hidup dan “penyembuhan dengan mukjizat” tidak ada.
Anjurkan diet yang
seimbang, tetapi pastikan pasien memahami bahwa diet khusus tidak akan
menyembuhkan arritis reumatoid. Tekankan perlunya pengendalian berat badan
karena obesitas menambah tekanan pada sendi.
Anjurkan pasien untuk
mandi air hangat pada saat akan tidur atau pada pagi hari untuk mengurangi
kebutuhan terhadap analgesik.
Diskusikan masalah seksual pasien.
Jika nyeri menimbulkan masalah selama senggama, diskusikan posisi alternatif,
minimum analgesik sebelum senggama, dan menggunakan kompres panas lembab untuk
meningkatkan mobilitas (Jaime dan Liz, 2007 :53).
D. Kebutuhana Emosional Klien dan
Keluarga
E. Sistem Pendukung dari Profesi
atau Pelayanan Keperawatan
F. Peranan Perawatan dengan Tenaga
Kesehatan Lain di Rumah
BAB
III
PENUTUP
0 komentar:
SILAHKAN BERKOMENTAR DENGAN BAIK